(Kabinet Indonesia
Bersatu jilid II)
“Dibawah
Sistem Kapitalisme, Rezim SBY-Budiono beserta partai politik Dan Elit Politik
Borjuasi
Telah
Gagal Dalam Mensejahterakan Rakyat”
Tepat pada tanggal 20 Oktober 2011 rezim SBY-Boediono telah
berkuasaan selam 2 tahun dengan mazhab neoliberalismenya. Selama berkuasa dalam
Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, SBY-Boediono telah memperparah kondisi
kemiskinan dengan menghancurkan tenaga-tenaga produktif rakyat. Hal itu dapat
dilihat dari setiap regulasi dan kinerja
buruk di berbagai bidang kehidupan rakyat.
Sistem Kapitalisme sebagai aternatif rezim SBY-Boediono untuk menciptakan keadilan dan
kesejahteraan bagi rakyat telah terlihat jelas menuai kegagalan. Sistem kapitalisme dengan segala nilai dan
prakteknya hanya memberikan keleluasaan bagi kelas borjuasi untuk
mengeksploitasi rakyat. Bukan
kesejahteraan yang didapatkan rakyat melainkan kesengsaraan dan kemiskinan. Dan krisis kapitalisme
yang masih terjadi sampai sekarang ini, telah menunjuknya rapuh dan usangnya
sistem kapitalisme.
Bukan rakyat Indonesia saja melainkan
rakyat dunia telah menderita atas keganasan sistem kapitalisme. Yakni akibat krisis Kapitalisme ini, pelbagai negara terlilit hutang yang begitu besar sehingga pemerintah
mengeluarkan kebijakan yang tidak populis terhadap rakyat. Pemerintahan rezim borjuasi lebih memilih
penerapan
kebijakan dana stimulus dan pengetatan anggaran dibanding kebijakan yang pro rakyat. Kebijakan tersebut justru telah banyak
melahirkan PHK massal dan parade penganguran. Angka pengangguran
secara statistik, tingkat pengangguran di Uni Eropa tertinggi dari negara
Spanyol sebesar 20,5 persen, menyusul Amerika sebanyak 8,9 persen, Belanda
sebanyak 4,3 persen, sedangkan negara Jepang penganguran mencapai 4,6 persen.
Modus penyelamatan krisis kapitalisme
yakni memperluas daerah ekspansi dengan taktik pasar bebas atau globalisasi.
Kapitalis internasional secara paksa menginjeksi
dan mempengaruhi pertemuan atau forum ekonomi
seperti G20, ASEAN, Pertemuan Asia-Afrika,
dimana sejatinya hanya untuk kepentingan kelas pemodal. Jelas hari ini,
Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi sasaran guna penyelamat krisis kapitalisme.
SBY-Boediono dan Kebijakan Anti Rakyat
Sebelumnya pada Kabinet Indonesia Bersatu
Jilid I, SBY yang didampingi oleh Jusuf
Kalla telah mengeluarkan
kebijakan anti rakyat seperti UU Penanaman Modal dan UU BHP yang sejatinya bukan jawaban
bagi persoalan kemiskinan rakyat Indonesia, namun sebaliknya sebagai bentuk
penggadaian alat-alat produksi rakyat dan liberalisasi pendidikan nasional.
Pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II
SBY-Boediono meneruskan agenda neoliberalisme di Indonesia. Pada 100 hari pemerintahan rezim borjuasi telah mengeluarkan pelbagai kebijakan.diantaranya program yang dihasilkan dari pertemuan National Summit (rembuk nasional) yang dimotori oleh
KADIN pada penghujung tahun 2009, yakni; 1) pengadaan tanah, alih fungsi hutan
dan tata ruang. 2) Infrastruktur seperti perbaikan infrastruktur transportasi
khususnya di pelabuhan besar dan peningkatan kapasitas, 3). Jaminan
ketersediaan energi oleh pemerintah dengan menerbitkan perpres tentang proyek
percepatan pembangunan proyek pembangkit listrik 10.000 mw tahap II, 4).
Keringanan pajak bagi pengadaan energi, 5) Perbaikan skema kerjasama pendanaan
pemerintah dan swasta dan Pengadaan lembaga pembiayaan infrastruktur, 5).
Masalah ketenagakerjaan. Persoalan ketenaga kerjaan selalu menjadi kendala bagi
kelas pemodal untuk berinvestasi seperti; persoalan Upah, Pesangon, outshorsing
dan kebebasan berserikat.
Pada tahun 2010 rezim borjuasi
mengeluarkan kebijakan menaikkan tarif Daya Listrik (TDL) dengan alasan
ekonomis-mengalami kerugian padahal itu sama sekali tidak benar hanyalah
rekayasa ekonomi politik semata untuk mendapatkan legitimasi dari mayoritas
rakyat. Agenda sejatinya
adalah liberalisasi di sektor energi dan bukan kepentingan rakyat. Serta sangat
ironis ketika rakyat sedang dilanda kemiskinan, rezim SBY-Boediono mengeluarkan
kebijakan dana talangan kepada Bank Century yang merugikan rakyat. Kasus
Century membuktikan ketertundukan SBY-boediono terhadap kelas Kapitalis.
Selanjutnya liberalisasi pertanian semakin menggurita dengan pilihan model
Food Estate oleh Rezim SBY-Boediono, yang mana pilihan Food Estate akan
mempermudah pihak pemodal dalam berinvestasi. Maka pengembangan industri
pertanian skala luas atau Food Estate sejatinya bukan diperuntukan untuk kaum
tani miskin dan buruh tani, melainkan lahan pertanian yang subur akan
diserahkan penguasaan dan pengelolaannya kepada koorporasi pertanian.
Rezim SBY-Boediono dalam memperlancar arus modal telah
menerbitkan Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Masterplan ini dengan sangat vulgar telah menetapkan
enam koridor untuk kepentingan investasi. MP3EI ini juga adalah
penjualan terbuka yang sistematis atas aset-aset vital.
Untuk menyukseskan MP3EI rezim borjuasi telah menggodok RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. RUU ini merupakan bagian dari paket reformasi regulasi
pembangunan infrastruktur di Indonesia bagi proses keterbukaan pasar dan investasi. Selain itu, RUU ini sarat dengan ‘pesanan’ asing.
Beberapa-dokumen menyebutkan bahwa RUU ini didorong oleh ADB dan Bank
Dunia. RUU ini ditargetkan untuk disahkan pada
tahun 2011 ini, karena merupakan salah satu prasyarat penting untuk mempelancar
penyediaan tanah bagi proyek pembangunan, sesuai dengan MP3EI 2011-2025 yang
telah diluncurkan pada awal tahun ini.
Di sektor pendidikan, rezim borjuasi
SBY-Boediono hendak meliberalisasikan secara total dengan adanya RUU Perguruan
Tinggi. RUU PT tidak lain adalah pengganti dari UU BHP sebagai skema kapitalisasi
pendidikan. Totalisasi ini jelas akan mengancam kepentingan rakyat terhadap
pendidikan. Pendidikan akan menjadi barang yang mahal bagi rakyat.
Dan disahkan UU intelijen pada tanggal 11
Oktober 2011 oleh rezim borjuasi akan berdampak pada kriminalisasi gerakan
rakyat, baik buruh, petani, kaum miskin kota maupun gerakan mahasiswa. UU ini
merupakan alat pengaman bagi keleluasaan rezim borjuasi dan kelas pemodal untuk
mengeksploitasi dan menindas rakyat.
Rezim SBY-BOEDIONO dan Penindasan Terhadap
Rakyat
Selama kekuasan rezim borjuasi, rakyat
selalu menjadi korban keganasan sistem kapitalisme dan ketikadilan
SBY-Boediono. Rezim SBY-Boediono selalu memprioritaskan kepentingan kelas
pemodal dari pada kepentingan rakyat. Inilah bentuk “Sesat Pikir” rezim
borjuasi!
Eskalasi kekerasan terhadap petani di
Indonesia berbanding lurus dengan ekspansi lahan baik itu kelas pemodal maupun
pemerintah. Konflik tanah bukanlah hal baru di negeri ini. Sejak orde baru,
telah terjadi ribuan kasus konflik tanah antara rakyat dan pemerintah, dengan
diiringi juga oleh ribuan kasus kekerasan oleh aparat yang mengiringinya.
Perihal kekerasan ini adalah buah dari kebijakan orde baru yang sejak berkuasa
tidak menjalankan UU Pokok Agraria 1960 yang berpihak kepada kaum tani. Praktik
pengadaan tanah di Indonesia masih banyak menyisakan persoalan hingga
kini.
Dari data yang didapat menunjukan
sepanjang tahun 2010 terjadi 106 konflik agraria di berbagai
wilayah Indonesia. Luas lahan yang disengketakan mencapai 535,197 hektar dengan
melibatkan 517,159 KK yang berkonflik. Konflik agraria di awal 2011 telah
menyebabkan 11 petani meninggal, 44 orang mengalami luka, baik ringan maupun
berat, tujuh orang ditahan, dan ratusan rumah serta tanaman masyarakat dirusak. Posisi sebagian besar rakyat yang tidak dilindungi hak
atas tanahnya, mekanisme pembebasan tanah yang bersifat otoriter/ memaksa,
serta manipulasi makna ”kepentingan umum”, merupakan catatan buruk pemerintah
dalam pengaturan dan pengadaan tanah, karena selalu rakyat yang dikorbankan. Ironisnya pelaku kekarasan terhadap
petani mayoritas dilakukan oleh aparat negara (baik tentara maupun polisi).
Persoalan kelas buruh
sampai sekarang ini adalan penerapan sistem kerja kontrak dan outshorcing atau Labour
Market Flekxebilty sehingga berpengaruh pada kesejahteraan buruh. Dengan
adanya sistem ini buruh akan dibatasi hak-haknya dan riskan terkena PHK
sepihak. Pada tahun 2011, setiap bulannya tercatat rata-rata di Indonesia
18.000 buruh manufaktur dan jasa kehilangan pekerjaan. Sementara itu, kaum
buruh yang masih bekerja justru dipaksa menerima upah rendah, yakni sekitar 70%
penduduk masih berpenghasilan rata-rata 2 US $/ hari dan lebih rendah
dibandingkan upah huruh di negara-negara Asia Tenggara. Selain itu persoalan
yang dihadapi kaum buruh adalah persoalan jaminan sosial, cuti kerja, upah
lembur dan uang pesangon yang hampir mayoritas tidak diberikan kepada buruh.
Persoalan kaum buruh
kemudian diperparah dengan kinerja DISNAKER yang tidak berpihak kepada
kepentingan buruh. Pengadilan Hubungan Industri (PHI) sebagai tempat buruh
mendapatkan keadilan pun telah dikuasi oleh kaum borjuasi. Hal itu terlihat
dari banyaknya kasus suap oleh pengusaha terhadap hakim ataupun jaksa. Posisi
rezim borjuasi tidak berupaya mensejahterakan buruh melainkan memperparah
kondisi buruh dengan niatan merevisi UU Ketenagakerjaan no. 13 tahun 2003 yang
pro terhadap kelas pemodal.
Disektor pendidikan, Pendidikan Nasional telah dijadikan komoditas dan semakin hari kian masif menuju puncak liberalisasi. Proses liberalisasi pendidikan telah menghancurkan kualitas tenaga-tenaga produktif serta
telah menciptakan budaya baru yang kapitalistik. Kapitalisasi
pendidikan yang kejam ini telah menutup akses rakyat untuk mendapatkan
hak-haknya atas pendidikan. Ironisnya sudah biaya pendidikan mahal dan kualitas
pendidikan yang rendah, masih juga praktik-praktik pungutan liar dijalankan
oleh lembaga pendidikan. Praktik Pengutan liar diterapkan dengan modus biaya
daftar ulang siswa dengan kegunaan untuk membeli seragam, buku pelajaran, dana
pembangun, dana perpustakaan dan lain sebagainya yang mencapai jutaan rupiah.
Pungutan liar pun tidak hanya disekolah-sekolah namun terjadi di universitas
bahkan lebih besar pungutan liarnya.
Orientasi pendidikan nasional yang
disiapkan guna memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja yang murah semakin nyata
dengan realisasi kebijakan menteri pendidikan, Kementerian Pendidikan Nasional
(Kemdiknas) berencana membangun puluhan SMK Model (unggulan) di seluruh zona
(koridor) pertumbuhan ekonomi dengan tujuan mendukung percepatan dan perluasan
pembangunan ekonomi di Indonesia pada 2012. SMK yang bekerja sama dengan
industri dalam membuat dan menjual barang untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi. Misalnya siswa merakit alat elektronik, alat pertanian
dan sebagainya untuk keperluan
industri. Dan saat
ini telah diusulkan tentang pembangunan 50 SMK Model di enam zona, yaitu
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku-Papua, dan Bali Nusa Tenggara.
Rezim borjuasi dengan
agenda kapitalisasi pendidikan sejatinya telah menciptakan tragedi kemanusia,
yaitu merampas hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan yang sudah dijamin dalam
pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945 pasal 31.
Dari zaman kemerdekaan jaminan
sosial adalah hak mutlak rakyat yang menjadi kewajiban negara untuk memberikan
nya yang tertuang dalan UUD 45,tapi dalam perjalanan nya jaminan tersebut mulai
di kurangi bahkan di hilangkan dengan berbagai kebijakan-kebijakan ASKIN
(asuransi kesehatan miskin),SKTM (surat keterangan tidak mampu) itu semua
adalah bentuk pengurangan jaminan sosial terhadap seluruh rakyat dan hari ini
akan di terapkan kembali UU yang mengatur tentang jaminan sosial rakyat lewat
UU SJSN yang mulai semakin terbukti bahwa pemerintah akan melepas tanggung
jawab nya dalam hal jaminan sosial rakyat,karena dalam UU No 40 2004 kebutuhan
rakyat masih terbatas pada lima hal,jaminan pemeliharaan kerja,jaminan hari
tua,jaminan kecelakaan kerja,jaminan pensiun,n santunan kematian,
sehingga prinsipnya jaminan sosial yang ada
dioutsourcing kepada pihak ketiga (berdasarkan mekanisme pasar) bukan jaminan
sebagaimana negara berkewajiban memberikan jaminan perlindungan terhadap
kebutuhan layak massa rakyat sebagaimana dalam mukadimah .UUD 1945
Dalam UU SJSN kepesertaan yang mendapatkan jaminan
terbatas pada pekerja sektor formal, terbatas pada fakir miskin menurut versi
rezim borjuasi, artinya jaminan sosial tidak mencakup seluruh rakyat padahal
kebutuhan layak rakyat lainnya tidak tersentuh sama sekali dalam UU No 40 2004
tentang SJSN. Hal itu berbeda dengan jaminan sosial semestinya yang mencakup
seluruh rakyat. Dalam hal pembiayaan atau kemampuan negara dalam
menyelenggarakan jaminan sosial tentu tidak akan mungkin negara mampu
menyelenggarakan jaminan sosial manakala masih menggunakan atau tunduk pada
mekanisme pasar dengan kata lain Neoliberlisme.
Rezim SBY-Boediono
dan Elit Politik Borjuasi Korup
Rezim borjuasi dan
elit politik borjuasi telah menunjukan watak aslinya yang tidak mengabdi
terhadap kepentingan rakyat. Kinerja partai politik yang ada, baik sebagai partai
berkuasa dan koalisinya maupun sebagai partai oposisi hanyalah racun dalam diri
rakyat. Rakyat di”sihir” untuk mendukung partai untuk menduduki kursi kekuasaan
(puast maupun daerah) akan tetapi tidak ada kontribusinya bagi kepentingan
rakyat, rakyat tetap tertindas, dieksploitasi dan semakin dimiskinkan.
Rezim dan elit
politik lebih tertarik pada isue-isue korupsi, baik untuk melindungi dirinya
ataupun untuk menyerang lawan politiknya. Namun dalam sistem politik
(demokrasi) liberal, sesungguhnya rezim dan elit politik tidak terlepas dari
praktik korup. Misalnya kasus Nazaruddin yang melibatkan para petinggi partai
Demokrat, kasus di kementrian ketenagakerjaan dan transmigrasi, serta kasus
korup di Badan Anggaran. Ironisnya, isue-isue yang berkenaan dengan kepentingan
rakyat secara langsung tidak diperjuang oleh elit-elit politik. Rakyat
dibiarkan terkena PHK, rakyat dibiarkan menjadi pengangguran, rakyat dibiarkan
kehilangan tanah dan rumah, rakyat dibiarkan tidak bersekolah, dll. Sekali lagi
jelaslah bahwa posisi elit politik borjuasi tidak berpihak kepada rakyat,
melainkan mereka berpihak terhadap kekuasan kelas pemodal.
Menjelang dua Tahun SBY-BUDIONO, isue yang berkembang adalah soal reshuffle.
Disatu sisi SBY-Boediono yang gagal dalam kesejahterakan rakyat
hendak menebus dosa dengan melakukan reshuffle, di pihak lain elit
politik beradu pernyataan atau menuding menteri dari partai lain dan
mempertahankan menterinya agar tetap bertahan. Tetapi bagi rakyat, reshuffle
tidak akan merubah wajah pemerintah, rakyat tetap akan tertindas dan
dimiskinkan selama sistem kapitalisme dijadikan solusi bagi SBY-Boediono.
Oleh karena itu, di bawah
kepemimpinan SBY-BOEDIONO dan ELIT POLITIK BORJUASI bukan jalan kesejahteraan bagi rakyat yang diutamakan, akan
tetapi jalan lapang bagi penindasan dan penghisapan terhadap rakyat Indonesia
malah disiapkan selebar-lebarnya.
Melihat situasi objektif yang berkembang,
yakni krisis kapitalisme yang telah melahirkan penderitaan rakyat se-dunia dan momentum 7 tahun kekuasaan SBY atau 2 tahun Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, maka KAMI
DARI ALIANSI PEKALONGAN MENGGUGAT MENYATAKAN SIKAP.
“DIBAWAH SISTEM KAPITALISME, REZIM SBY-BOEDIONO BESERTA PARTAI
POLITIK DAN ELIT POLITIK BORJUASI
TELAH GAGAL MENSEJAHTERAKAN
RAKYAT”
Aliansi
pekalongan menggugat menawarkan jalan keluar untuk kesejahteraaan rakyat
Indonesia sepenuhnya:
1.
Program
Reforma Agraria Sejati
2.
Program
Industrialisasi Nasional Yang Kerakyatan
3.
Program
Nasionalisasi Aset-Aset Dibawah Kontrol Rakyat
4.
Program
Pendidikan Nasional Gratis, Ilmiah, Demokratis Dan Bervisi Kerakyatan
5.
program
jaminan sosial untuk seluruh rakyat yang layak dan manusiawi
aliansi pekalongan menggugat juga menyerukan BANGUN PERSATUAN
GERAKAN RAKYAT dalam melawan sistem kapitalisme demi kesejahterakan rakyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar